MURATARA – Dua belas tahun lalu, nama Musi Rawas Utara (Muratara) hanyalah sebuah wacana yang diperjuangkan di ruang rapat, jalanan, hingga desa-desa pelosok. Aspirasi rakyat kala itu jelas: mereka ingin pembangunan yang lebih adil, akses yang lebih dekat, serta pengakuan bahwa wilayah di utara Sumatera Selatan ini pantas berdiri di atas kaki sendiri.
Tanggal 23 Juni 2013, cita-cita itu akhirnya terwujud. Muratara resmi menjadi kabupaten hasil pemekaran dari Musi Rawas. Kini, tepat dua belas tahun kemudian, momentum Hari Ulang Tahun (HUT) ke-12 Muratara menjadi pengingat akan perjalanan panjang yang telah ditempuh.
Peringatan HUT tahun ini ditandai dengan Rapat Paripurna Istimewa DPRD Muratara di Gedung Griya Iluk—ikon baru pemerintahan yang megah sekaligus simbol kedewasaan birokrasi daerah. Hadir dalam kesempatan itu Gubernur Sumatera Selatan H. Herman Deru, Bupati Muratara H. Devi Suhartoni, Ketua DPRD Devi Arianto, jajaran Forkopimda, kepala OPD, hingga tokoh masyarakat.
Paripurna tersebut bukan sekadar seremoni ulang tahun. Ia adalah ruang konsolidasi, tempat seluruh pemimpin daerah berbicara jujur tentang capaian, kekurangan, sekaligus harapan. Ketua DPRD Devi Arianto menegaskan bahwa usia ke-12 bukan hanya momen selebrasi, melainkan titik evaluasi.
“Kita semua harus menyadari bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan sepihak. Semangat Bersama Kita Iluk adalah filosofi kebersamaan untuk kemajuan,” ujarnya.
Bupati Muratara H. Devi Suhartoni menekankan bahwa arah pembangunan kabupaten kini mengerucut pada tiga prioritas: infrastruktur dasar, pelayanan publik, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
“Kita ingin masyarakat merasa tidak hanya menikmati hasil pembangunan, tapi juga menjadi bagian dari prosesnya,” kata Bupati.
Meski anggaran terbatas, ia menekankan pentingnya efisiensi, transparansi, dan membangun kepercayaan publik sebagai modal utama.
Dalam pidatonya, Gubernur Sumatera Selatan H. Herman Deru menilai Muratara mampu bergerak cepat meskipun usianya masih muda.
“Kalau bicara semangat, inovasi, dan pelayanan, Muratara tidak kalah. Jangan hanya ukur dari lamanya berdiri, tapi lihat dari bagaimana ia berlari. Provinsi akan terus mengawal pembangunan di sini,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa dukungan provinsi bukan hanya retorika. Pembangunan jalan penghubung, jembatan strategis, hingga penerangan jalan umum adalah bukti nyata kolaborasi pusat, provinsi, dan daerah.
Gedung Griya Iluk menjadi saksi paripurna istimewa. Bangunan ini tidak hanya representatif secara fisik, tetapi juga simbol kematangan tata kelola pemerintahan Muratara. Dengan desain arsitektur modern yang terbuka, Griya Iluk mencerminkan semangat birokrasi baru yang transparan dan partisipatif.
Namun, perjalanan 12 tahun Muratara belumlah sempurna. Pembangunan fisik memang mulai terlihat, tetapi rakyat kini menuntut lebih. Pendidikan, kesehatan, digitalisasi pelayanan publik, hingga penguatan sektor pertanian dan UMKM menjadi agenda mendesak.
Seorang tokoh pemuda dari Desa Lawang Agung menyuarakan harapan: “Kami ingin Muratara bukan hanya maju infrastrukturnya, tapi juga cerdas manusianya.”
Dua belas tahun Muratara adalah refleksi tentang arti pemekaran daerah. Cita-cita awal untuk menghadirkan keadilan pembangunan memang sudah mulai terlihat, namun tantangan ke depan akan lebih berat: bagaimana menjaga konsistensi, mempercepat pelayanan, dan memberdayakan rakyat.
Kini, momentum HUT ke-12 seakan memberi pesan jelas: Muratara tidak lagi berjalan di pinggiran, melainkan tengah berlari menuju pusat perhatian Sumatera Selatan.
Red.
Posting Komentar